Sabtu, 25 Oktober 2008

Dampak Kebijakan Subsidi Pertanian Negara Maju Terhadap Kedaulatan pangan Indonesia

Latar Belakang

Ajaran neo-liberalisme yang merupakan ideologi daur ulang dari liberalisme klasik Adam Smith, dalam wujud dan strategi gerakannya yang lebih masif, telah berhasil mencengkram seluruh sektor kehidupan di dunia. Ideologi ini bersembunyi dibalik doktrin globalisasi yang mampu menghipnotis pikiran mayoritas orang di muka bumi ini. Dalam persepsi banyak orang, globalisasi-neoliberal akan banyak menawarkan kemudahan, kesejahteraan, dan keadilan. Mahzab neoliberal, semakin menampakkan kekuatannya dengan memanfaatkan institusi-institusi ekonomi, keuangan, dan perdagangan internasional (IMF, Bank Dunia, dan WTO)—sebagai the triangle system. Dengan berkedok, hendak menciptakan perdagangan dunia yang lebih adil dan terbuka, serta pertumbuhan ekonomi yang lebih merata. Agen-agen neoliberal (termasuk di dalamnya korporasi transnasional dan negara kapitalis rakus) berhasil membujuk Negara-Negara Dunia Ketiga, untuk melakukan integrasi perdagangan dan ekonomi secara global, dalam wadah Organisasi Perdagangan Dunia, WTO.

Selain mengatur perdagangan barang manufaktur, WTO juga telah melakukan pengaturan terhadap perdagangan komoditas pertanian, melalui mekanisme Agreement on Agriculture (AoA), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dokumen hukum WTO. Setidaknya terdapat tiga komitmen dalam AoA, yakni perluasan akses pasar, pengurangan subsidi domestik, dan pengurangan subsidi impor, ditambah satu klausula perlakukan khusus dan berbeda bagi Negara Berkembang. AoA-WTO, dengan bantuan IMF dan Bank Dunia, telah menghancurkan tembok kedaulatan nasional negara-negara merdeka. Negara-negara di dunia, khususnya Negara Dunia Ketiga, dipaksa untuk tunduk patuh terhadap segala aturan AoA-WTO. Berbeda dengan Negara Maju, sebagai pihak yang mendesakkan AoA-WTO, mereka justru lebih banyak melakukan pengingkaran. Akibatnya, janji keterbukaan dan keadilan urung terlaksana, dan hanya sekedar menjadi keniscayaan. Yang terjadi justru, kian bergantungnya Negara Dunia Ketiga terhadap Negara Maju, dalam persoalan pemenuhan pangan massa rakyatnya. Liberalisasi pertanian melalui kerangka AoA-WTO, berakibat pada membanjirnya pangan impor di Negara Dunia Ketiga, seperti Indonesia. Hal seperti ini justru kontradiktif dengan upaya pemenuhan hak atas pangan. Karena pangan hanya menjadi barang pasar, tetapi tidak pernah terpikirkan mengenai persoalan akses dan kepemilikan (entitlement).

Membanjirnya pangan impor juga mengakibatkan terjadinya kondisi keterjebakan pangan (food trap), dimana negara tidak memiliki kedaulatan pangan (food souverignty) nasional, karena hanya bergantung pada produk pangan impor. Kondisi seperti ini tentunya mengancam eksistensi kedaulatan nasional secara umum, sebab pangan menjadi unsur utama dari ketahanan nasional. Posisi negara kian diambil alih oleh pasar, pemenuhan hak atas pangan makin tak berjalan, sebab pasar tidak memiliki cukup kearifan untuk memikirkan nasib ketercukupan pangan masyarakat secara luas. Karenanya penguatan pangan lokal—melalui proteksi dan subsidi bagi petani lokal, harus disegerakan, sebagai upaya untuk menjamin pemenuhan hak atas pangan dan penciptaan kedaulatan pangan nasional.

Politik Subsidi dan Perdagangan Bebas

Berbagai strategi dilakukan oleh negara maju agar produk pangan mereka bisa mendominasi pasar global. Negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, menyubsidi produk pertanian mereka secara berlebih untuk sejumlah komoditas pangan, terutama beras, jagung, kedelai, gula, gandum, daging sapi dan unggas, susu, serta komoditas hortikultura seperti sayur. Berbagai ragam subsidi tersebut tampak dari besaran angka produser support estimate/PSE, antara lain market price support, payments based on area planted/animal numbers/input use/input contraints.

Sebagai gambaran, pendapatan petani beras, gula, dan daging sapi di Negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berasal dari bantuan pemerintah mencapai berturut-turut 78 persen, 51 persen, dan 33 persen. Itu artinya hanya 22 persen pendapatan petani beras di OECD yang berasal dari usaha mereka sendiri. Selebihnya disubsidi. Dampak kebijakan subsidi pangan yang besar dari negara maju akan memukul usaha tani di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kasus kedelai bisa menjadi contoh nyata, pada saat subsidi pangan dilakukan secara besar-besaran, membuat harga pangan di dunia rendah sehingga persaingan menjadi tidak adil. Hal itu akan berpengaruh negatif terhadap petani di negara berkembang seperti Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah petani menjadi malas menjalankan usaha taninya sehingga lama-lama produksi komoditas pangan turun, sehingga pada akhirnya Indonesia akan bergantung sepenuhnya dari pangan impor.

Fakta lainnya yaitu ketika terjadi perubahan kebijakan pangan global akibat isu substitusi energi nabati, harga pangan menjadi mahal. Negara yang telanjur bergantung pangan impor menghadapi krisis pangan dan inflasi besar-besaran. Begitu pula ketika terjadi bencana hama-penyakit berlangsung meluas dan negara yang mengalami ketergantungan pangan kesulitan mengakses pangan. Adapun perusahaan raksasa MNCs menangguk keuntungan dari negara berkembang. Berdasarkan laporan Agro Observer tahun 2006, dalam beberapa tahun terakhir, banyak produk agroindustri dan agro- pangan yang secara lokal sudah terkenal mereknya dijual ke perusahaan asing.

Prediksi Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) menyebutkan, pada tahun 2015 dunia akan semakin berkecukupan dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Diramalkan, pertumbuhan penduduk mencapai 1,3 persen, sementara pertumbuhan produksi pangan 3,5 persen. Namun, ironisnya prediksi FAO juga menyatakan pada tahun 2015 kelaparan akan menimpa sekitar 500 juta penduduk dunia karena produksi dikuasai oleh negara-negara maju, sementara negara-negara berkembang termasuk Indonesia, menjadi konsumennya.

Direktur Center for Agricultural Policy Studies (CAPS) HS Dillon menyatakan, ketimpangan dunia itu semakin diperburuk oleh perdagangan bebas yang berlangsung dengan tidak seimbang. FAO tidak dapat diharapkan akan mendistribusikan pangan secara adil untuk memerangi kelaparan, sebab yang menguasai lembaga itu adalah Amerika Serikat (AS), negara-negara maju di Eropa dan Jepang. "Mereka tidak mau menarik kebijakan pasar bebasnya, apalagi Bush (Presiden AS George W Bush) baru saja menandatangani 80 juta dollar AS tambahan subsidi untuk pertanian AS selama dasawarsa mendatang. OECD (Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan) juga akan meningkatkan bantuannya karena mereka akan menambah besar kekuatannya dengan merangkul negara-negara eks Uni Soviet. Selama mereka masih menyubsidi petaninya dan bersikap tidak adil terhadap komoditas ekspor kita yang masuk ke negaranya, maka tidak akan ada perdagangan yang adil," tegas Dillon. Free trade (perdagangan bebas), lanjut Dillon, dapat menjadi food trap (jebakan pangan) bila Indonesia tidak melakukan perubahan paradigma pembangunan pertaniannya.

Kesimpulan

Kebijakan pemberian susbsidi yang diberlakukan oleh negara – negara maju kepada petani menyebabkan ketidakseimbangan dalam perdagangan komoditas pertanian di dunia. Dengan pemberian subsidi secara besar – besaran menyebabkan harga komoditas pertanian menjadi rendah yang berakibat pada kesulitan bagi petani di negara berkembang termasuk Indonesia untuk dapat bersaing di pasaran, sehingga menyebabkan negara – negara berkembang tidak dapat melakukan kegiatan produksi dan menjadi tergantung pada komoditas pertanian dari negara maju. Untuk mengatasi hal tersebut maka negara – negara berkembang khususnya Indonesia harus mengubah paradigma terhadap pembangunan pertaniannya dengan keberpihakan pada petani.

Daftar Pustaka

www.wahyudidjafar.wordpress.com/2008/08/08/pengaruh-ratifikasi-agreement-on-agriculture-aoa-terhadap-regulasi-pangan-nasional

http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/10/02/0037.html

http://www.mail-archive.com/ekonomi-nasional@yahoogroups.com/msg08739.html

http://www.madani-ri.com/2008/06/13/ketahanan-pangan-membayar-subsidi-dengan-pola-ijon/

http://petani.blogsome.com/arsip-email/reorientasi-kebijakan-pertanian-serta-pengaruh-neoliberalisme/

1 komentar:

Unknown mengatakan...

mampir nich...
oh ea,, ada sedikit info tentang kayu jabon.mungkin pernah denger tentang kayu jabon ok.. SALAM.....