Sabtu, 25 Oktober 2008

Efektifitas Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Mengantisipasi Krisis Energi dan Pangan

PENDAHULUAN

Harga minyak dunia akhirnya menembus diatas USD 135 per barel yang merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah, bahkan tidak mustahil menembus angka psikologis USD 150 per barel. Perkembangan fluktuasi harga minyak jelas berakibat buruk bagi upaya pembangunan ekonomi ke depan. Meningkatnya harga minyak akan mengubah komposisi APBN 2008 dan arah kebijakan moneter. Di antara dua dampak itu, akan terdapat ramifikasi lebih jauh yang bisa berujung pada melemahnya perekonomian bila tidak ada respons kebijakan yang memadai.

Dari sisi fiskal, kenaikan harga minyak di atas asumsi USD 60 per barel akan mengubah komposisi APBN 2008 melalui dampaknya pada pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan, kenaikan harga minyak akan meningkatkan pendapatan production sharing (KPS) minyak dan PNBP gas serta pendapatan negara dari PPh Migas. Dari sisi belanja, kenaikan harga minyak akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke pemerintah daerah. Dalam hal ini, risiko fiskal dari kenaikan harga minyak secara umum tidak separah sebagaimana yang diprediksi sebagian pengamat. Kenaikan harga minyak global justru menguntungkan pemerintah karena akan terdapat peningkatan penerimaan bersih yang bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain.

Dari struktur APBN 2008, kenaikan harga minyak yang rata-rata USD 10 per barel akan meningkatkan surplus (penerimaan bersih) pemerintah Rp 3 triliun. Peningkatan penerimaan bersih itu dimungkinkan oleh adanya fiscal space yang lebih luas dalam struktur APBN sejak diambilnya kebijakan pemotongan subsidi BBM pada 2005. Namun, peningkatan surplus di atas hanya dimungkinkan bila target lifting minyak domestik, yang diasumsikan 1,034 juta barel per hari pada APBN 2008, terpenuhi. Bila terdapat penurunan lifting minyak domestik 50 ribu barel per hari, justru akan terdapat peningkatan defisit bersih antara Rp 10 triliun-Rp 11 triliun pada APBN 2008. Untuk itu, dari sisi fiskal, yang perlu diwaspadai adalah pengurangan jumlah lifting minyak domestik. Berdasar pengalaman tahun-tahun sebelumnya, penurunan asumsi hampir selalu terjadi. Sebagai contoh, ada selisih 50 ribu barel per hari dalam asumsi APBN Perubahan (APBNP) 2007 dibandingkan APBN 2007.

Kenaikan harga energi terutama minyak bumi mempunyai pengaruh signifikan terhadap harga pangan dan dapat menyebabkan krisis pangan dunia. Membubungnya harga pangan dunia, sebagian merupakan akibat dari banyaknya penggunaan bahan pangan yang digunakan untuk bahan bakar organik (biofuel), yang dimaksudkan menjadi tren kesadaran lingkungan negara industri maju. Seperti jagung dan kelapa sawit, sebelumnya kedua pangan itu untuk konsumsi masyarakat dunia, namun saat ini banyak dijual untuk biofuel yang permintaannya tinggi. Produksi jagung di dunia dari 2004 - 2007, dalam catatan Bank Dunia, hampir seluruhnya digunakan untuk biofuel di AS.

Kenaikan harga pangan yang drastis akibat dari penggunaan produk pangan untuk pemenuhan energi global dapat terlihat dari fluktuasi harga pangan yang telah terjadi di Indonesia. Harga beberapa komoditas pangan penting terus merangkak naik sejak akhir tahun 2007 hingga kini. Kenaikan berkisar 18% hingga 60%. Lonjakan tertinggi terjadi pada komoditas minyak goreng, disusul kedelai, tepung terigu, dan beras. Harga minyak tanah pun sempat melonjak hingga 50%. Bahkan di beberapa daerah terjadi kelangkaan. Kondisi seperti ini tentunya sangat memukul masyarakat miskin dan juga mulai berdampak pada masyarakat ekonomi menengah. Kekurangan pasokan bahan pangan dunia sudah dapat dipastikan akan mendorong kenaikan harga pangan dunia, terlebih pada negara yang sangat tergantung pada impor. Melihat kenyataan ini, perlu dibangun konsensus global untuk memprioritaskan menjaga kestabilan harga pangan dunia.

Untuk mengantisipasi kemungkinan krisis pangan dan energi yang akan terjadi karena kenaikan harga energi global dan penggunaan komoditas pertanian untuk kebutuhan energi maka diperlukan langkah kongkrit dari pemerintah selaku pemegang kebijakan fiskal maupun bank Indonesia selaku pemegang kebijakan moneter di Indonesia. Kebijakan yang diambil harus dapat memperhatikan dampaknya terhadap perekonomian nasional serta kondisi riil yang dihadapi saat ini berkenaan dengan permintaan akan kebutuhan energy dan pangan secara global.

ANALISIS

A. Kebijakan Fiskal

Sektor publik dalam perekonomian campuran mempunyai fungsi utama antara lain; (1) fungsi alokasi yaitu mengatur alokasi faktor faktor produksi dalam menghasilkan barang publik dan privat, (2) fungsi distribusi yaitu mengatur pembagian pendapatan (dan kekayaan) untuk lebih menjamin pembagian pendapatan secara adil, (3) fungsi stabilisasi yaitu untuk menjamin tingkat pertumbuhan, mempertahankan stabilisasi harga, kesempatan kerja dan kurs. Untuk melaksanakan fungsi pemerintah tersebut dilakukan melalui kebijakan fiskal yaitu dengan pengaturan anggaran penerimaan (pajak) dan pengeluaran

Pembangunan ekonomi dinegara - negara berkembang peran sektor publik sangat penting, karena dalam pembangunan mengandalkan kepada peran sektor publik disamping sektor swasta. Sektor publik atau pemerintah diberikan peran sebagai “Agent of Development” (mempelopori, memfasilitasi, dan lain lain). Didalam melaksanakan perannya melakukan pembangunan diperlukan berbagai strategi yaitu strategi pertumbuhan, kesempatan kerja penuh, penghapusan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pasar

Dunia perminyakan Indonesia yang menyangkut masalah produksi dan pemakaian BBM (Migas Hilir) pada saat ini menghadapi suatu dilemma. Pemerintah tidak mampu menaikkan harga BBM untuk pemakaian dalam negeri sama dengan harga pasar untuk mengurangi subsidi yang sudah sangat membebani anggaran pemerintah. Rencana pemerintah yang dikemukakan Wapres Jusuf Kalla untuk menaikkan harga BBM sebesar 24% pada tahun 2008 adalah untuk menekan defisit APBN sebagai akibat kenaikan harga minyak mentah dunia.

Pada dasarnya subsidi harga BBM sangat merugikan negara. Pengurangan subsidi secara bertahap dan menghilangkannya dari APBN merupakan cara yang terbaik agar Indonesia dapat keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagian pakar ekonomi juga mendukung kebijakan pengurangan subsidi dengan argumentasi bahwa kebijakan subsidi yang dijalankan pemerintah terdahulu ditetapkan ketika Indonesia masih menjadi negara pengekspor minyak. Tetapi dengan posisi Indonesia saat ini yang telah menjadi negara pengimpor minyak, maka setiap kenaikan harga minyak mentah dunia akan langsung membebani neraca APBN. Menyadari bahwa subsidi yang ada saat ini sangat tidak berkeadilan karena lebih banyak dinikmati oleh kelompok mampu. Rakyat Indonesia sudah memahami bahwa subsidi harga BBM yang membunuh ini sangat merugikan negara disaat ini maupun pada masa yang akan datang. Kondisi ini harus segera diluruskan atau diselesaikan dengan baik secara tuntas. Kalau tidak akan menimbulkan pemasalahan terus menerus yang tidak pernah selesai sehingga Indonesia akan mengalami krisis yang berkepanjangan. Perlu pula digarisbawahi bahwa didalam menghadapi problema yang dilematis tersebut di atas, Pemerintah harus bijak dalam mengendalikan roda pemerintahan. Beberapa kebijakan fiskal yang dapat diambil pemerintah untuk mengatasi krisis energi dan pangan adalah sebagai berikut:

  1. Pajak BBM dan Subsidi BBM

Permasalahan utama perminyakan Indonesia sekarang ini justru terletak pada Migas Hilir. Sistim distribusi, pemasaran, penjualan (retail) dan pemakaian BBM sebagai produksi penting atau strategis belum “dikusai” dalam arti dikelola dengan baik. Jika dilaksanakan dengan baik dan terencana, target Pemerintah bukan hanya sekadar mengurangi subsidi pemakaian BBM saja, tetapi bagaimana usaha pemerintah untuk dapat melakukan “rasionalisasi” dan “optimalisasi” dalam rangka demokratisasi dunia Migas Indonesia untuk menghadapi era pasar bebas sekaligus mengantisipasi kekurangan sumber daya Migas di Indonesia pada masa sekarang dan mendatang. Dari sudut sifatnya, ada dua karakter yang menonjol dalam kegiatan usaha Migas Hilir yaitu; (1) usaha Migas Hilir yang merupakan kegiatan usaha bisnis yang dapat dikenakan Pajak BBM (dan ini merupakan porsi yang terbesar), serta (2) usaha Migas Hilir berupa BBM yang merupakan produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga memerlukan subsidi Pemerintah.

Pajak BBM sesungguhnya menjadi hak seluruh rakyat Indonesia, dan merupakan kewajiban bagi para pemakai BBM. Karena pemerintah sudah menyiapkan sarana dan prasarana untuk para pemakai BBM dan mereka (pemakai BBM) menimbulkan pencemaran lingkungan, yang dibiayai dan ditanggung seluruh rakyat Indonesia atau oleh negara. Sejumlah 160 negara besar didunia pola kebijakan pemasaran dan harga jual BBM dapat dibagi atas empat katagori model yaitu; (1) pola subsidi, (2) pola pajak rendah, (3) pola pajak sedang, dan (4) pola pajak BBM tinggi. Pola subsidi hanya dianut oleh negara penghasil Migas yang besar, seperti negara Timur Tengah dan lainnya termasuk Indonesia yang bukan penghasil Migas besar. Hampir 94% negara didunia ini telah menarik pajak pemakaian BBM, yang besarnya tergantung dari kondisi negara masing masing, dan lebih dari 60% telah menarik pajak yang cukup tinggi, lebih besar dari US $ 0.5 atau Rp 5.000 perliter BBM yang dipakai, berarti nilainya lebih tinggi dari pada harga pasar BBM itu sendiri. Pola pajak rendah atau pola Amerika yang dianut oleh hampir 18.7%, pajak BBM dibawah US $ 0.20 perliter. Alasannya bahwa negara Amerika mempunyai daratan yang sangat luas sehingga agak sulit membangun jaringan transportasi masal yang murah, efisien dan ekonomis. Karenanya, masyarakat lebih banyak menggunakan mobil pribadi. Pola pajak BBM tinggi atau pola Eropa, pajak lebih besar dari US $ 0.6 perliter yang dianut oleh lebih dari 20% negara didunia. Biasanya negara yang menganut pola pajak BBM tinggi mempunyai sistim transportasi umum masal yang baik, efisien, ekonomis, nyaman dan aman seperti; di Eropa dan Jepang. Paling banyak negara didunia ini menerapkan pola pajak BBM sedang, hampir 55%, dengan pajak BBM antara US $ 0.20 s/d US $ 0.60 perliter. Alasannya adalah mencari keseimbangan antara pemakaian BBM yang kena pajak untuk pemakaian mobil pribadi dengan kendaraan umum dengan pajak rendah (subsidi), sehingga dapat menarik pajak pemakaian BBM yang optimum. Pola ini merupakan pola pajak BBM yang paling wajar, adil dan demokratis. Bila Migas Hilir menerapkan konsep Pajak BBM dan subsidi selektif diterapkan dan dikelola dengan baik maka bukan memberikan beban kepada negara dengan pemberian subsidi harga BBM, akan tetapi dapat memberikan sumbangan melalui pajak pemakaian BBM yang cukup tinggi dengan nilai Rp. 250 triliun (US $ 25 milyard) pertahun (rutin, abadi), bahkan dapat lebih. (sesuai dengan kemajuan masing – masing daerah otonomi).

Pemakaian BBM di Indonesia yang hampir 60 juta KL atau 60 milyar liter pertahun, banyak sekali dana pajak dapat dihimpun. Jika pajak pemakaian BBM Rp 6.000 perliter atau harga BBM Rp 8.000 perliter, pemakaian BBM akan turun diperkirakan menjadi 50 juta KL dan yang dikenakan pajak 40 juta KL dan yang dapat subsidi 10 juta KL. Potensi dana yang dapat dihimpun mencapai US $ 25 milyar (hampir 250 triliun rupiah) per tahun secara terus menerus, abadi, walaupun Indonesia nantinya bukan pengekspor migas atau tidak menghasilkan migas lagi. Jumlahnya tergantung dari perkembangan dan pertumbuhan sistim transportasi dimasing masing daerah. Makin bagus sistim tranportasi dari suatu daerah (seperti di pulau jawa) makin banyak dana yang dapat dihimpun atau diperoleh, pembayaran subsidi BBM, diambil dari dana pajak BBM. Karena PERTAMINA belum mampu menyiapkan sistim untuk dapat mengontrol pemisahan dan penyampaian BBM yang disubsidi sampai ketangan yang berhak dan menarik pajak pemakaian BBM dari yang wajib membayar pajak, secara tepat, cepat, dan transparan maka kerugian negara mencapai 250 trilyun rupiah/per tahun.

Sesungguhnya Pemerintah dan PERTAMINA dapat mengurangi subsidi dan menarik pajak pemakaian BBM. Rakyat sudah memperlihatkan pengertian positif tentang subsidi yang membunuh. Mengurangi subsidi, akan menaikan harga BBM secara merata yang mengakibatkan kenaikan harga disegala sektor terutama bahan pokok, yang berakibat meningkatkan beban masyarakat. Jumlah BBM yang harus diberikan subsidi hanya sedikit, lebih kurang hanya sekitar 10% (sepuluh persen) dari total keseluruhan pemakaian BBM, selebihnya dapat dikenakan pajak.

Subsidi yang diberikan berupa subsidi harga yang hampir merata kepada seluruh pemakai. Pada saat sekarang pemerintah telah berusaha menaikan harga BBM, diharapkan bisa sampai sama dengan harga Internasional, dalam rangka mengurangi subsidi. Tetapi jika kondisi sistim distribusi, penjualan, pemasaran dan pemakaian BBM masih seperti sekarang ini (belum dapat memisahkan secara tepat mana BBM yang patut disubsidi dan yang dikenakan pajak) tentu saja upaya untuk mengurangi subsidi sangat sulit. Hidup tanpa subsidi adalah bentuk pengorbanan paling riil dari suatu bangsa bagi kemakmuran sendiri, selain itu pajak adalah kewajiban sekaligus hak berbangsa dan bernegara. Subsidi dan juga pajak merupakan salah satu upaya pemerintah mewujudkan keadilan dan kemakmuran masyarakat. Dalam prakteknya, subsidi dapat diberikan berupa pendidikan dan kesehatan seperti yang diterapkan sejumlah negara, yang merupakan investasi pemerintah terhadap rakyat.

Di Indonesia, subsidi terbesar diwujudkan dalam bentuk subsidi harga BBM, yang merupakan subsidi konsumtif. Pada subsidi BBM ini, pemerintah membayari sebahagian harga BBM yang dibeli masyarakat sehingga harga BBM menjadi murah dari nilai sebenarnya. Seharusnya subsidi BBM hanya diberikan kepada yang berhak saja secara terbatas dan harus dapat dikontrol dengan baik. Subsidi yang dapat diberikan baik berupa subsidi harga atau subsidi pajak maupun keduanya. Dana subsidi harus didapat dari sistim pemakaian BBM itu sendiri (mandiri) seperti dari pajak pemakaian BBM, tidak diambil dari dana penjualan minyak mentah atau dari pajak lainnya.

  1. Stimulus Fiskal Untuk Komoditas Pertanian

Mengantaisipasi kenaikan harga komoditas pertanian pemerintah memberlakukan kebijakan untuk menstabilkan harga komoditas-komoditas pertanian, pada awal Februari 2008 pemerintah memutuskan untuk menyiapkan stimulus fiskal sebesar Rp 13,7 triliun. Stimulus fiskal ini akan digunakan untuk subsidi, yang ketentuannya dituangkan dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan. Pemerintah memilih untuk melaksanakan subsidi dengan cara membebaskan atau menurunkan bea masuk dan menanggung pajak pertambahan nilai (PPN) komoditas-komoditas penting tersebut. Hal ini karena pemberian subsidi secara langsung pada masyarakat miskin dinilai memiliki banyak kendala teknis.

Pemberian stimulus fiskal oleh pemerintaah akan memberikan dampak positif pada penurunan harga pangan. Dengan adanya stimulus ini diharapkan rakyat Indonesia dapat memenuhi kebutuhannya akan komoditas pangan. Pemberian stimulus fiskal merupakan kebijakan fiskal jangka pendek yang tentunya harus diimbangi dengan peningkatan produktifitas pangan secara nasional. Karena kebijakan tersebut akan membebani keuangan Negara karena menyebabkan penurunan pendapatan Negara, maka pemerintah dapat memberlakukan kebijakan fiskal lainnya sehingga kebijakan tersebut dapat berjalan seiring tanpa membebani keuangan Negara.

Pemberian subsidi pada sektor pertanian yang diberlakukan di Negara maju dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan sektor pertanian yang berujung pada ketahanan pangan dan menghindarkan Indonesia dari krisis pangan. Negara maju, seperti AS dan Uni Eropa, menyubsidi produk pertanian mereka secara berlebih untuk sejumlah komoditas pangan, terutama beras, jagung, kedelai, gula, gandum, daging sapi dan unggas, susu, serta komoditas hortikultura seperti sayur. Berbagai ragam subsidi tersebut tampak dari besaran angka produser support estimate/PSE, antara lain market price support, payments based on area planted/animal numbers/input use/input contraints.

Sebagai gambaran, pendapatan petani beras, gula, dan daging sapi di Negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang berasal dari bantuan pemerintah mencapai berturut-turut 78 persen, 51 persen, dan 33 persen. Itu artinya hanya 22 persen pendapatan petani beras di OECD yang berasal dari usaha mereka sendiri. Selebihnya disubsidi. Dampak kebijakan subsidi pangan yang besar dari negara maju akan memukul usaha tani di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kasus kedelai bisa menjadi contoh nyata, pada saat subsidi pangan dilakukan secara besar-besaran, membuat harga pangan di dunia rendah sehingga persaingan menjadi tidak adil. Hal itu akan berpengaruh negatif terhadap petani di negara berkembang seperti Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah petani menjadi malas menjalankan usaha taninya sehingga lama-lama produksi komoditas pangan turun, sehingga pada akhirnya Indonesia akan bergantung sepenuhnya dari pangan impor. Dengan pemberian subsidi dalam sektor pertanian diharapkan produktifitas pertanian dan daya saing produk pertanian Indonesia dapat meningkat dan menghindarkan Indonesia dari krisis pangan.

B. Kebijakan Moneter

Karakteristik Indonesia sebagai “small and open economy”, menganut sistem devisa bebas dan ditambah dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang (free floating) menyebabkan pergerakan nilai tukar di pasar menjadi sangat rentan oleh pengaruh faktorfaktor ekonomi dan non-ekonomi. Untuk mengurangi gejolak nilai tukar yang berlebihan, maka pelaksanaan intervensi menjadi sangat penting terutama untuk menjaga stabilitas nilai tukar agar dapat memberikan kepastian bagi dunia usaha, dan pada gilirannya dapat memberikan kemantapan bagi pengendalian perekonomian secara makro.

Upaya mengendalikan nilai tukar rupiah tidak selalu diartikan hanya menekan laju depresiasi atau memelihara kurs dalam “range” yang konstan, namun upaya stabilisasi nilai tukar lebih diartikan menjaga nilai tukar rupiah yang bergerak dengan teratur (orderly manner). Oleh karena itu, apabila nilai tukar bergejolak tajam karena faktor “uncertainty” dan pasar membutuhkan suatu acuan atau “guidance” dari Otoritas Moneter/Bank Sentral sebagai sinyal. Kegiatan intervensi yang dilakukan oleh Otoritas Moneter/Bank Sentral adalah merupakan sinyal kepada peserta pasar bahwa pergerakan nilai tukar sudah terlalu jauh dari fundamental.

Dari sisi moneter kenaikan harga minyak akan meningkatkan tekanan terhadap suku bunga. Tekanan itu disebabkan prospek peningkatan inflasi domestik dan keharusan menjaga paritas suku bunga internasional. Peningkatan inflasi domestik akan terjadi akibat peningkatan biaya produksi dan risiko usaha. Pada saat yang sama, risiko inflasi juga terjadi pada negara-negara lain yang pada akhirnya juga menekan suku bunga domestik ke atas. Suku bunga domestik harus dinaikkan untuk mengimbangi kenaikan serupa di negara lain dan mencegah adanya pelarian modal dan depresiasi rupiah.

Kondisi itu jelas jauh dari ideal bagi perekonomian nasional. Kenaikan suku bunga lebih tinggi daripada asumsi rata-rata 7.5 persen yang ditetapkan pada APBN 2008 akan meningkatkan cicilan utang sehingga menambah beban belanja negara. Dalam hal ini, peningkatan suku bunga dasar (SBI 3 bulan) sebesar 1 persen dari asumsi rata-rata sebesar 7.5 persen akan meningkatkan belanja pembayaran utang domestik (defisit) kurang lebih Rp 2 triliun. Lebih jauh, kenaikan suku bunga domestik menyebabkan tersendatnya upaya menstimulasi sektor riil perekonomian. Tingginya suku bunga akan menyedot dana tersedia ke dalam aset-aset seperti SBI atau SUN, yang berarti lebih sedikit dana tersedia untuk investasi. Tingginya suku bunga juga akan menyebabkan masyarakat merealokasi pendapatan ke dalam bentuk aset-aset simpanan dan menahan tingkat konsumsi.

Lebih rendahnya tingkat investasi, konsumsi, dan pengikisan nilai aset yang terjadi akibat inflasi akan menyebabkan tertekannya permintaan agregat masyarakat. Itu berarti, akan hilang momentum pertumbuhan yang sesungguhnya ada saat ini. Bahkan, bila kejatuhan tingkat permintaan menjadi berlarut-larut, bisa terjadi resesi perekonomian sebagaimana yang terjadi pada pengujung 2005 hingga awal 2006. Untuk itu, pemerintah perlu segera menyiapkan strategi soft-landing perekonomian dari dampak harga minyak. Langkah awal yang harus dimulai adalah memperketat administrasi dan pengawasan atas tingkat lifting minyak, baik untuk pemain lokal maupun internasional. Langkah tersebut diperlukan untuk mengisolasi komposisi fiskal dari kenaikan harga minyak.

Sementara itu, penyesuaian suku bunga merupakan hal yang tidak terhindarkan. Apalagi bila kenaikan harga minyak terus berlanjut dan bertahan hingga tahun depan. Penyesuaian itu diperlukan untuk menyerap guncangan akibat ketidakseimbangan eksternal yang akan terjadi karena tingginya harga minyak yang perlu diperhatikan ialah jumlah besaran dan timing penyesuaian suku bunga. Pihak BI harus mengupayakan agar kenaikan suku bunga tidak terlalu tinggi. Begitu juga berdasar pengalaman kenaikan harga minyak sebelumnya, faktor timing adalah vital. Pengetatan moneter yang tergesa-gesa hanya memberikan sinyal salah kepada pasar yang bisa direspons pelaku pasar secara berlebihan.

KESIMPULAN

  1. Sektor publik dalam perekonomian campuran mempunyai fungsi utama antara lain; (1) fungsi alokasi yaitu mengatur alokasi faktor faktor produksi dalam menghasilkan barang publik dan privat, (2) fungsi distribusi yaitu mengatur pembagian pendapatan (dan kekayaan) untuk lebih menjamin pembagian pendapatan secara adil, (3) fungsi stabilisasi yaitu untuk menjamin tingkat pertumbuhan, mempertahankan stabilisasi harga, kesempatan kerja dan kurs. . Untuk melaksanakan fungsi pemerintah tersebut dilakukan melalui kebijakan fiskal yaitu dengan pengaturan anggaran penerimaan (pajak) dan pengeluaran.

2. Mengingat pembangunan negara betumpu pada pajak dan dana pinjaman dalam dan luar negeri, untuk mengatasi krisis energi dapat diupayakan melalui berbagai cara diantaranya adalah; menekan subsidi dan menarik pajak dari pengguna bahan bakar minyak (BBM).

3. Stimulus fiskal bermanfaat terhadap penurunan harga produk pertanian dan meningkatkan produktifitas pertanian yang dapat mendorong ketahanan pangan nasional, mengurangi impor dan menghindarkan Indonesia dari krisis pangan.

4. Penyesuaian suku bunga merupakan hal yang tidak terhindarkan. Penyesuaian itu diperlukan untuk menyerap guncangan akibat ketidakseimbangan eksternal yang akan terjadi karena tingginya harga minyak dan produk pertanian. Dalam menaikkan suku bunga yang perlu diperhatikan ialah jumlah besaran dan timing penyesuaian suku bunga. Pengetatan moneter yang tergesa-gesa hanya memberikan sinyal salah kepada pasar yang bisa direspons pelaku pasar secara berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA

“Ancaman Kemiskinan Global Baru Akibat Krisis Pangan”, antaranews.com, Zaenal Abidin, 20 April 2008

Anonim, “Kebijakan Energi Indonesia Tak Konsisten”, Antara News, 1 Oktober 2006.

Anonim, “Boediono: Indonesia Belum Efisien Gunakan Energi”, Kompas Cyber Media (sumber Antara), Selasa, 22 Agustus 2006.

Bank Dunia: Krisis Pangan Indonesia Hanya Sebentar”, Dunia Zaky, Rabu 11 Juni 2008

Clements, Benedict, Hong-Sang Jung, and Sanjeev Gupta (2003), “Real and Distributive Effects of Petroleum Price Liberalization: The Case of Indonesia”, IMF Working Paper No. WP/03/204.

Dampak Moneter Kenaikan Harga Minyak Opini Bebas.com”, M. Ikhsan Modjo, 1 November 2007

Dartanto, Teguh, “BBM, Kebijakan Energi, Subsidi, dan Kemiskinan di Indonesia”, INOVASI online Vol. 5/XVII/ November 2005. (http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=102).

Harga Beberapa Komoditas Masih Terus Merangkak”, Selisik (Pikiran Rakyat), 10 Maret 2008

Krisis Minyak Dunia dan Indonesia”, Priyadi’s Palace, 30 September 2005

“Krisis Pangan dan Energi di Mata Para Ekonom”, Kompas.com, Fajar M Marta /Benny Dwi Koestanto, Senin, 21 Juli 2008

Sapiblog.com, Sapirakus, 2 Febuari 2007

1 komentar:

infogue mengatakan...

Artikel anda:

http://fiskal-moneter.infogue.com/
http://fiskal-moneter.infogue.com/efektifitas_kebijakan_fiskal_dan_moneter_dalam_mengantisipasi_krisis_energi_dan_pangan

promosikan artikel anda di infoGue.com. Telah tersedia widget shareGue dan pilihan widget lainnya serta nikmati fitur info cinema untuk para netter Indonesia. Salam!